Yesterday Beatles

Minggu, 11 Oktober 2009

UPAYA PENYELAMATAN PERUSAHAAN , SIAPA YANG BERPERAN ?

Masih ingat adegan saat-saat terakhir menjelang tenggelamnya kapal Titanic? Didalam film digambarkan berbagai perilaku dan sikap masing-masing individu pada saat menghadapi kritis. Tentu saja dalam kenyataannya berbagai hal bisa terjadi. Berbagai sikap akan terlihat menunjukkan sifat-sifat asli manusia sebenarnya.
Dalam film Towering inferno situasi ini digambarkan agak lebih lengkap. Luar biasa ! Walaupun musibah yang dihadapi sangat berbeda. Yang satu air dan satunya lagi api. Saya sendiri pernah mengalami saat terjebak dalam lift yang overload menyebabkan pintu tidak bisa dibuka. Saat itu kami yang merupakan rombongan karya siswa dinegeri orang menghadapi saat menegangkan karena ulah ketidak-disiplinan kami sendiri.
Saya perhatikan perilaku masing-masing orang pada saat itu. Yang paling menonjol adalah pertentangan saling menyalahkan satu sama lain. Namun demikian ada juga yang dengan sabar menenangkan kami untuk tidak panik tetapi mencari akal untuk menyelamatkan diri. Wow, sungguh melegakan disaat-saat demikian sulit masih ada yang berpikiran jernih untuk keselamatan bersama !
Kalau masih ada barangkali nenek moyang kita yang mengalami masa-masa jaya sebagai negara kelautan tentunya akan mengingatkan bahwa berbahagialah kita dilahirkan di bumi Indonesia yang dari dulunya adalah memang negara maritim. Budaya bahari diharapkan akan banyak memberikan inspirasi terhadap gaya kepemimpinan di negara kita tercinta ini.
Di lautan yang luas kita dituntut untuk berwawasan jauh kedepan sampai batas cakrawala nun jauh disana.Kita harus pandai-pandai membaca tanda-tanda zaman. Kita harus kritis menangkap isyarat karena badai datang sering kali tanpa diduga. Konon diatas kapal kita dituntut untuk memiliki perhitungan akurat. Ditengah samudra nan luas kita tidak bisa mampir dibengkel untuk membetulkan mesin.
Ditengah badai yang dahsyat kita tidak bisa minta tolong kepada orang lain. Kita harus menolong diri sendiri. Jadi kita dituntut untuk mandiri. Suatu hal yang wajar. Kita tidak bisa menghindari amukan badai dan topan. Kita justru harus mau tidak mau terpaksa menghadapinya. Mau lari kemana ? Ringkas kata budaya laut adalah kemandirian, keberanian , akurasi, kecermatan dan kecepatan bertindak , kepercayaan , kebersamaan. Budaya laut adalah budaya lebih banyak mendengar , arif mendengar bisikan dan pandai membaca tanda-tanda. Sekarang bagaimana kita menyelamatkan diri dari serangan badai yang melanda kita saat ini ? Dengan pola pikir teramat sederhana kita bisa mengatakan bahwa dunia selamat bila seluruh negara selamat. Negara selamat apabila semua unsur yang mendukung kelangsungan hidup negara juga selamat. Marilah kita teropong dengan lingkup lebih spesifik. Agar negara selamat maka semua usaha yang dilakukan oleh ketiga soko guru ekonomi kita haruslah selamat. BUMNnya, swastanya , koperasinya haruslah selamat. Perusahaan selamat apabila semua masyarakat atau karyawan selamat. Sebaliknya tentunya karyawan selamat bila perusahaan tetap berjalan. Dimasa-masa sulit seperti ini Lembaga Menteri negara pemberdayaan BUMN berperan strategis dalam rangka meningkatkan kontribusi BUMN terhadap perekonomian nasional. Apalagi sosok personil dibelakangnya dengan latar belakang pengalamannya yang luas dibidangnya merupakan figur yang diharapkan bisa memberikan hasil yang maksimal sebagaimana yang kita damba-dambakan. Disaat-saat awan gelap menggelantung diatas kita, tumpuan dan harapan karyawan hanyalah tertuju kepada tempat mereka Masalah bekerja saat ini. Maklum cari kerja ditempat lain adalah suatu hal yang sulit kalau tidak boleh dibilang tidak mungkin. Dengan demikian tentunya tidak ada pilihan lain bagi karyawan selain berjuang mati-matian mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Pada saat seperti itu tentunya merupakan saat yang tepat bagi perusahaan untuk memotivasi karyawan agar mau berpartisipasi aktif bersama-sama berpikir agar dapur tetap berasap ! (Catatan : pada umumnya masih banyak perusahaan yang tidak berpikir positif merangkul karyawan untuk bertahan hidup , bahkan karyawan justru ditakut-takuti dengan kemungkinan PHK yang tidak bisa dihindarkan. Akibatnya bukan kontribusi pemikiran jalan keluar yang diperoleh perusahaan melainkan justru sumpah serapah dan doa jelek untuk perusahaan dari karyawan yang berada pada posisi lemah). Demikian juga bagi karyawan tentunya saat-saat sekarang adalah saat-saat yang tepat untuk bersikap proaktif, memikirkan jalannya perusahaan. Karyawan yang reaktif akan mengatakan ; "Mengapa kita mesti memikirkan perusahaan , toh perusahaan belum tentu memikirkan kita- ! ". Karyawan yang proaktif akan mengatakan ; " Apapun yang dilakukan perusahaan, saya harus tetap berjuang mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan. Bukan orang lain yang memikirkan kita tetapi harus kita sendirilah berinisiatif mempertahankan periuk nasi kita !" Mengevaluasi perkembangan usaha. Evaluasi terhadap suatu perkembangan usaha adalah suatu hal yang wajar untuk dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa jauh usaha tersebut memperoleh kemajuan. Upaya evaluasi ini sebetulnya tidak hanya dilakukan pada saat suatu usaha mengalami masaalah namun akan semakin dirasa kebutuhannya pada saat kita mengalami masaalah yang berat. Evaluasi secara rutin adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya masaalah yang berat dikemudian hari. Pola pikir ini kita kembangkan dengan berlandaskan atas konsep pemikiran First Thing First karya Stephen Covey. Pola pikir ini mencoba meneropong lebih jelas mengenai pilihan kegiatan yang mana yang lebih didahulukan antara penting tidak mendesak atau mendesak tetapi tidak penting. Tentu saja terlebih dahulu kita harus bisa membedakan mana yang penting dan mana yang mendesak. Penting bisa didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sesuatu kegiatan akan berpengaruh terhadap misi atau visi kita, nilai kita , tujuan prioritas kita. Tujuan prioritas kita hendaknya memandang segala pihak secara seimbang. Tidak ada tujuan yang mementingkan perusahaan saja, atau mementingkan karyawan saja atau pihak lain yang berkepentingan terhadap tercapainya tujuan tersebut. Semuanya hams dianggap sebagai pertimbangan yang sama tingkatannya. Dengan demikian maka tujuan tersebut akan memiliki nilai yang tinggi. Pengertian mendesak adalah suatu situasi atau kondisi yang memerlukan perhatian segera. Apabila kita mendahulukan hal yang mendesak tetapi tidak penting maka lambat atau cepat kita akan sampai pada tahapan dimana semuanya menjadi penting dan,­mendesak. Kegiatan yang mencerminkan situasi yang penting dan mendesak adalah krisis, masaalah yang mendesak, kegiatan yang digerakkan oleh batas waktu. Ini akan berakibat timbulnya stress, keletihan, manajemen krisis, selalu memadamkan krisis. Sedangkan apabila kita berorientasi kepada hal-hal yang penting meskipun tidak mendesak yang berhubungan dengan hal-hal seperti membina hubungan, menulis misi pribadi, perencanaan jangka panjang, pelatihan, pemeliharaan pencegahan, persiapan , semua hal yang kita tahu perlu kita kerjakan ,tetapi entah bagaimana jarang kita lakukan karena tidak mendesak. Kita ingat kata-kata Peter Drucker yang mengatakan bahwa orang yang efektif adalah orang yang pikirannya tertuju pada peluang, bukannya tertuju pada masaalah. Mereka memberi makan peluang dan membuat lapar masaalah serta berpikir preventip. Dengan pola pikir seperti tersebut diatas maka jelas bahwa tindakan evaluasi secara rutin akan menghindarkan kita berakhir pada situasi yang krisis tanpa kita sadari. (lngat Boiling frog phenomenon - Fenomena Kodok dalam air mendidih ; seekor katak yang dicemplungkan kedalam air mendidih akan loncat keluar dengan cepat, tetapi kalau katak tersebut kita masukkan kedalam air dingin kemudian dipanaskan sampai mendidih maka katak tersebut akan tetap tinggal dalam air sampai mati tanpa disadarinya). Postur strategis perusahaan. Untuk bisa mengevaluasi suatu kegiatan usaha maka kita harus mulai dengan membuat suatu gambaran atau postur strategis perusahaan. Kita mencoba meneropong perusahaan dengan mengidentitikasikan semua variabel strategis yang ada. Yang kita lihat tidak hanya sekedar kinerja atau hasil. Tetapi terlebih kita harus melihat semua variabel yang lebih mendasar. Kinerja hanya mencerminkan situasi jangka pendek yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal. Sedangkan efektititas variabel yang lain yang lebih filosofis akan kita lihat sebagai suatu hal yang akan berpengaruh terhadap kinerja jangka panjang.
Dengan kata lain kinerja pada suatu saat hanya mencerminkan kondisi perusahaan secara situasional sedangkan peneropongan terhadap variabel-variabel yang lebih kehulu secara filosofis akan memberikan gambaran kondisi perusahaan secara struktural yang berdampak jangka panjang. Oleh karena itu Corporate Plan tidak berarti apa-apa, yang penting adalah Corporate Planning. Kinerja suatu perusahaan yang umumnya untuk BUMN digambarkan secara kuantitatif dengan Nilai Key Performance Indicator lebih banyak memberikan bobot kepada aspek Keuangan dan operasional yang notabene adalah hasil akhir saja , sedangkan aspek pembelajaran dan kepuasan pelanggan bobotnya tidak terlalu besar. Artinya Konsep Balanced Scorecard yang melatarbelakangi penyusunan nilai KPI tidak diterapkan secara konsisten. Apa kata para pakar ? Terkait dalam masaalah ini kita memiliki landasan berpikir lama dan baru. Model lama adalah yang kita kenal dengan istilah Perencanaan Strategis Perusahaan atau Corporate Planning yang secara umum merujuk kepada 7 S dari McKinsey. Sedangkan yang baru adalah apa yang diuraikan dalam konsep Hiperkompetisi dari Richard d'Aveny. Konsep Hiperkompetisi ini sendiri belum begitu populer dikalangan awam bahkan tidak semua sekolah bisnis membuat rujukan kepada konsep tersebut. Demikian juga petunjuk penyusunan Rencana Jangka Panjang Perusahaan BUMN dari Departemen Keuanganpun masih belum menyinggung konsep hiperkompetisi. Dengan adanya konsep baru dari d'Aveny walaupun dirasakan ada beberapa perbedaan penekanan pendekatan oleh beberapa pakar, saya tetap berpendapat dua pendekatan ini tidaklah perlu terlalu bertentangan.
Kita masih bisa menjembatani dua alur pikir tersebut dengan mengkombinasikan pemikiran jangka panjang dalam Corporate Planning dan pemikiran yang berpusat pada Market Disruption (Kegoncangan Pasar). Bagaimanapun juga meskipun intensitas perubahan yang terjadi dipasar sedemikian besar kita tetap memerlukan suatu pemikiran yang berdampak jangka panjang. Target jangka panjang tetap harus kita buat sebagai tindakan yang strategis sedangkan langkah-langkah pendek simultan menjadi rangkaian taktik yang mendorong kita untuk mencapai suatu tujuan jangka panjang. Dengan demikian diharapkan untuk menentukan strategi perusahaan kita mulai dengan pendekatan Perencanaan Strategis dan kemudian kita elaborasi menggunakan pendekatan Hiperkompetisi. Proses perencanaan Strategis bisnis. Proses perencanaan strategis perusahaan sebagaimana sudah kita ketahui bersama diawali dengan perumusan Visi yang men-drive Misi perusahaan yang kemudian diikuti dengan Formulasi Tujuan (Objective) , kemudian Analisa SWOT, Formulasi Strategi, Formulasi program, Implementasi dan akhirnya diharapkan ada umpan balik dan pengendalian terhadap Analisis SWOT , Objective, Strategy, Program dan Implementation. Keberhasilan suatu perusahaan ditentukan dari sejak awal oleh kualitas formulasi Visi dan Misi. Ini pada akhirnya akan membentuk budaya yang kuat yang adaptif (sekali lagi jangan lupa yang adaptif, karena menurut John P.Kotter dan James L. Heskett , budaya kuat yang sesuai saja tidak cukup tetapi haruslah fleksibel dan adaptif) yang bisa mendrive kinerja perusahaan menuju pencapaian tujuan. Konsep 7 Ss McKinsey. McKinsey menyimpulkan bahwa Nilai Bersama (Shared Value) memiliki posisi yang sangat sentral. 3 S yang pertama yang merupakan perangkat keras perusahaan adalah Strategi, Struktur dan Sistem. Sedangkan 4 berikutnya yaitu Shared Value, Skill, Staff dan Style merupakan perangkat lunak. Menurut McKinsey , kalau perangkat lunak ini ada maka perusahaan biasanya lebih berhasil dalam pelaksanaan. Secara umum apabila kita ingin membuat semacam analogi antara pola pikir McKinsey dan d' Aveny maka Market disruption yang merupakan pusat perhatian dari d' Aveny akan menggantikan kedudukan Shared Value dari konsep McKinsey. Menurut d'Aveny nilai bersama yang berkonotasi jangka panjang digantikan oleh situasi pasar yang senantiasa berubah. Namun menurut penulis tidak sepenuhnya konsep McKinsey bermakna permanen selamanya. Bagaimanapun Misi atau Visi bahkan tujuan perusahaan bisa setiap saat di update tergantung pada tinjauan SWOT analysis yang setiap saat bisa dilakukan. Apabila tujuan perusahaan tidak terdukung oleh kenyataan evaluasi hasil SWOT Analysis maka tentunya tidak ada gunanya mempertahankan strategi yang telah dirumuskan dalam Corporate Plan ! Sampai tahap ini kita bisa melihat bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu mendasar antara konsep McKinsey dan d'Aveny.
Shared value adalah nilai yang setiap saat harus bisa dibentuk kembali karena berdasarkan penelitian Kotter dan Heskett budaya yang mendukung kinerja adalah budaya yang sesuai tetapi juga adaptif terhadap pengaruh lingkungan. Perusahaan dalam kurun waktu tertentu dengan budaya kuat yang sesuai berkinerja baik tetapi terbukti beberapa waktu kemudian mengalami penurunan karena budaya tersebut tidak bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Dengan demikian maka penyusunan Rencana Jangka Panjang perusahaan bagaimanapun tetap bisa diambil manfaatnya. Hanya saja dalam hal ini ada beberapa pokok pikiran d'Aveny yang bisa kita garis bawahi bahwa bagaimanapun kita tetap harus berorientasi kepada pasar. Keberhasilan suatu bisnis di wujudkan dalam bentuk kemampuan perusahaan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk menghadapi ancaman maupun peluang yang ada diluar.
Kita tidak bisa mengatur peluang yang ada diluar , pasarlah yang akan mengatur kita. Oleh karena itu perusahaan harus bisa dengan jelas merumuskan keinginan semua stake holder, mengambil langkah mencari peluang strategis, dengan mengandalkan kecepatan dan kejutan-kejutan, menentukan medan persaingan yang diinginkan , pandai-pandai membaca signal/tanda-tanda, mengambil langkah strategis yang berkesinambungan secara simultan. Sebagai bahan renungan dan catatan akhir , dengan maraknya konsep Blue Ocean strategy akhir-akhir ini nampaknya kita akan sangat dipengaruhi dalam proses Corporate Planning , karena tools-2 utama yang kita gunakan selama ini lebih condong kepada pemetaan posisi perusahaan dalam era kompetisi yang kemudian semakin chaos karena kita ternyata sudah masuk dalam era hiperkompetisi. Padahal konsep lautan biru bernada anti kompetisi. Wallahualam

Tidak ada komentar: